Social Media

Penyitaan Benda Tidak Bergerak

BAB I
PENDAHULUAN 
Penyitaan seringkali dilakukan bagi barang-barang yang berada dalam sengketa.  Baik barang yang bergerak maupun yang tidak bergerak.  Dapat disita oleh pihak yang berwajib.  Tindak pidana ini dilakukan untuk mengantisipasi pengguna barang yang belum sah pemilik sesungguhnya.  Misalnya saja tanah yang dalam keadaan sengketa,  tanah tersebut harus disita agar selama penyidikan atau penuntutan dipersidangan dilangsungkan tidak ada salah satu pihakpun yang menggunakan tanah itu,  sebelum mempunyai keputusan yang mempuyai kekuatan hukum yang tetap.
Penyitaan juga mempunyai tujuan untuk menghargai hak asasi manusia (HAM).  Dikatakan demikian karena benda yang masih belum diketahui secara hukum pemiliknya tidak diperkenangkan dipergunakan oleh seseorang atau salah satu pihak yang mengsengketakan barang tersebut.  Jangan sampai barang  tersebut telah digunakan oleh pihak yang satu,  namun dalam persidangan terbukti bahwa bukan dia pemilinya,  tentu yang diuntugkan adalah orang atau pihak yang memenangkan kasus tersebut.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,  maka kami dapat merumuskan beberapa permasalahan,  yaitu :
1.  Apa yang dimaksud dengan penyitaan ?
2.  Apa yang dimaksud dengan Sita Jaminan ?
3.  Bagaimana tata cara penyitaan ?
Tujuan Makalah
Berdasarkan latar belakang di atas,  adapun tujuan yang hendak dicapai adalah:
1.  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyitaan.
2.  Untuk mengetahui tata cara penyitaan.
Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.  Untuk mengetahui tentang penyitaan.
2.  Manfaat bagi pembaca, Untuk memberikan informasi mengenai penggeledahan dan penyitaan.
3.  Manfaat bagi Penulis, Diharapkan dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan mengenai penggeledahan dan penyitaan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyitaan
1.  Pengertian Penyitaan
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia disebut sita atau penyitaan.
Pengertian yang terkandung didalamnya, yaitu :
Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam keadaan penjagaan.
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
2.    Yang berwenang Menyita
Penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan, setelah lewat taraf penyidikan tidak lagi dapat dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik. Itu sebabnya pasal 38 dengan tegas menyatakan : penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik. Dengan penegasan pasal 38 KUHAP tersebut telah ditentukan dengan pasti, hanya penyidik yang berwenang untuk melakukan penyitaan.
3.   Bentuk dan Tatacara Penyitaan
1.   Penyitaan biasa dan Tata Caranya :
a.   Harus ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri
b.   Memperlihatkan atau Menunjukkan Tanda Pengenal (Pasal 128 HIR)
c.   Memperlihatkan benda yang akan disita (Pasal 129 HIR)
d.   Penyitaan dan Memperlihatkan Benda sitaan Harus disaksikan oleh Kepala Desa dan ketua lingkungan dan dua orang saksi.
e.   Membuat berita acara penyitaan
f.   Menyampaikan turunan berita acara penyitaan
g.   Membungkus benda sitaan
2.  Cara Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak :
a.   Tanpa Surat izi Ketua Pengadilan Negeri
b.   Hanya terbatas pada benda bergerak saja
c.   Wajib segera melaporkan guna mendaptkan persetujuan
Ketiga poin diatas diatur dalam Pasal 128 sampai 130 HIR.
3.  Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan :
Penyitan benda dalam keadaan tertangkap tangan merupakan pengecualian penyitaan benda biasa. Dalam keadaan tertangkap tangan penyidik dapat langsung menyita benda atau alat.
a.   Yang ternyata digunakan untuk alat tindak pidana.
b.   Benda atau alat yang patut diduga yang telah dilakukan untuk tindak pidana,atau
c.   Benda lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti
Dalam keadaan tertangkap tangan, sangat luas sangat luas wewenang yang diberikan kepada penyidik, disamping wewenag untuk menyita benda dan alat yang disebut pada pasal 40, Pasal 41 memperluas lagi wewenang itu meliputi segala macam jenis dan bentuk surat atau paket :
a.   Menyita Paket atau Surat
b.   Atau benda yang pengangkutan atau pengirimanya dilakukan oleh kantor pos atau telkomunikasi, jawatan atau perusahan komunikasi atau pengangkutan.
c.   Asalkan sepanjang surat atau paket atau benda diperuntukkan atau berasal dari tersangka.
d.   Namun dalam penyitaan benda-benda pos atau telkomunikasi yang demikian, Penyidik harus membuat surat tanda terima kepada tersangka atau kepada jawatan perusahan yang bersangkutan.
Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
· Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;
· Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
· Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
·  Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
·  Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Untuk melindungi kepentingan publik, dalam hal ini adalah pemilik yang sah dari benda yang disita oleh Penyidik tersebut, maka Pasal 46 KUHAP juga telah mengatur tentang mekanisme pengembalian benda sitaan, yaitu:
(1)  Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila:
a.  Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata    tidak merupakan tindak pidana;
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan    dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”
Beberapa Prinsip Pokok Sita
Sita memiliki perbedaan dari segi bentuk dan jenis. Undang-undang memperkenalkan sita revindikasi (revindicatoir beslag), sita jaminan (conservatoir beslag), dan sita eksekusi (excetorial beslag). Sedangkan dari segi jenis atau objek, pada garis besarnya dikenal sita barang bergerak, sita barang tidak bergerak, sita atas kapal laut, dan sita atas kapal terbang. Namun demikian terdapat prinsip pokok tanpa mengurangi adanya perbedaan. Persamaan pokok prinsip itu yang akan dijelaskan pada bagian ini. Sedangkan mengenai perbedaannya dijelaskan bersamaan dalam pembahasan bentuk dan jenis sita yang bersangkutan.
1.    Sita berdasarkan permohonan
Terkandung dalam pasal 226 dan 227 HIR, atau 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No 5 Tahun 1975. 
2.    Permohonan Berdasarkan Alasan
Sita harus dilakukan berdasarkan alas an yang kuat. Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar penggugat dalam pengajuan sita menunjukan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan. 


B.     Sita Jaminan
Sita jaminan mengandung arti, bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari atas barang-barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dipindah-tangankan kepada orang lain. Ini adalah menyangkut sita conservatoir ( conservatoir beslag).
Selain itu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, demikian juga halnya terhadap barang bergerak milik penggugat sendiri yang ada dalam kekuasaan tergugat dapat pula diletakkan sita jaminan. Sita ini dinamakan adalah sita revindicatoir.
Apabila dengan putusan hakim pihak penggugat dimenangkan dan gugat dikabulkan, maka sita jaminan tersebut secara otomatis dinyatakan sah dan berharga, kecuali kalau dilakukan secara salah. Namun dalam hal pihak penggugat yang dikalahkan, maka sita jaminan yang telah diletakkan akan diperintahkan untuk diangkat.
Dalam hal telah dilakukan sita revindicatoir, maka apabila sita revindicatoir tersebut dinyatakan sah dan berharga, terhadap barang yang disita itu akan diperintahkan agar diserahkan kepada penggugat. Dilakukan atau tidaknya sita jaminan mempunyai makna yang penting, lebih-lebih pada dewasa ini di mana lembaga pelaksanaan putusan telebih dahulu "tidak berfungsi". Oleh karena itu sita jaminan hendaknya selalu dimohon agar diletakkan terutama dalam perkar-perkara besar. Ketentuan yang termuat dalam pasal 178 ayat (3) HIR yaitu bahwa hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut. Hal ini berarti bahwa apabila sita jaminan telah tidak dimohonkan, maka hakim tidak akan memerintahkan untuk meletakkan sita jaminan. Hendaknya pula jangan dilupakan untuk memohon agar pensitaan tersbut dinyatakan sah dan berharga.


C. Benda Bergerak dan Benda Tidak bergerak
Menurut Ny. Frieda Husni Hasbullah, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan mengatakan bahwa untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
1.   Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPer) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barang-barang tambang.
2.    Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 KUHPer) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain.
3.   Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPer). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak.
Frieda Husni Hasbullah menerangkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:
1.    Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509 KUHPer).
Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 KUHPer).
2.    Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPer) misalnya:
a.    Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;
b.    Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;
c.    Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;
d.   Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain.
D. Penyitaan Benda Tidak Bergerak
Komponen-komponen dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah saling terkait satu sama lain, baik Polri sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut umum, Hakim sebagai pemimpin dalam sidang pengadilan, maupun Lembaga Pemasyaratan sebagai tempat akhir proses pemidanaan. Dalam membentuk suatu sistem yang kuat, dibutuhkan suatu koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar seluruh komponen, karena layaknya bejana yang berhubungan, apabila salah satu komponen mengalami gangguan maka akan mempengaruhi komponen lainnya.
Di masa yang lalu bahkan hingga saat ini, terdapat banyak celah hukum yang dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak sah, dan selalu melibatkan komponen penyidik, jaksa dan hakim, baik secara terpisah maupun secara koordinatif. Sebagai contoh praktek yang terpisah adalah penghentian penyidikan yang tidak sah, dan penghentian penuntutan yang tidak sah. Dan sebagai contoh praktek yang koordinatif ialah penghilangan atau penggantian satu atau lebih pasal pidana secara tidak sah yang dikoordinasikan di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, hingga sampai di depan siding pengadilan.
Keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang kini dimunculkan dalam RUU KUHAP diharapkan membawa dampak positif bagi terjaminnya efektivitas procedural dalam proses pidana, sehingga rasa keadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan supremasi hukum benar-benar bisa ditegakkan dan berwibawa.
Namun apabila diteliti lebih dalam, disinyalir masih terdapat celah hukum dalam RUU KUHAP yang belum tentu terawasi dengan baik oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, yaitu terkait penyitaan Benda tidak bergerak. Celah hukum dimaksud muncul pertama kali dari pembatasan  / definisi dari Penyitaan yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
 “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan.”
E. Tata Cara Penyitaan
a. Penyitaan Benda
1)   Diluar hal tertangkap tangan :
a)   Diperlukan Surat Izin/Surat Izin Khusus Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri.
b)   Diperlukan Surat Perintah Penyitaan.
c)   Dapat dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dan Penyelidik atas Perintah Penyidik.
d)   Penyitaan dilakukan terhadap benda-benda bergerak ataupun benda tidak bergerak yang dapat berupa :
(1) Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga /diperoleh/sebagai hasil tindak pidana.
(2)  Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
(3)   Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan  tindak pidana.
(4)   Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
(5)   Benda lain yang  mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(6)   Benda yang berada dalam sitaan perkara perdata atau pailit sepanjang memenuhi sebagaimana tersebut pada  (a), )b), (c), (d) dan (e).
2)    Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak :
a)    Dapat dilakukan tanpa Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri.
b)    Tidak diperlukan Surat Perintah Penyitaan.
c)    Penyitaan terbatas hanya terhadap benda bergerak saja.
d)    Dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dan Penyelidik atas perintah Penyidik.
3)    Dalam hal tertangkap tangan
a)    Tidak diperlukan Surat izin/Surat Izin Khusus Ketua Pengadilan Negeri.
b)    Tidak diperlukan Surat Perintah Penyitaan
c)    Penyitaan dapat dilakukan terhadap benda dan alat yang ternyata diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
d)    Dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu, baik karena mendapatkan sendiri maupun karena adanya penyerahan dari Penyelidik atau orang lain.
e)    Dilakukan oleh Penyelidik, baik karena mendapatkan sendiri maupun karena adanya penyerahan dari orang lain, untuk segera diserahkan kepada  penyidik/penyidik pembantu didaerah hukumnya dengan disertai BA tentang tindakan yang dilakukannya.
4)    Dalam hal penyitaan diluar daerah hukum, maka pelaksanaanya selain harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri juga didampingi oleh penyidik/Penyidik Pembantu yang ditunjuk oleh kepala Kesatuan daerah hukum tempat dilakukannya penyitaan.
5)    Penyitaan supaya dilakukan oleh paling sedikit 2 (dua) orang petugas.
6)   Menghubungi Kepala Desa/Ketua Lingkungan, diminta untuk menjadi saksi dalam tindakan penyitaan itu.
7)   Penyidik/Penyidik Pembantu dan atau Penyelidik atas perintah Penyidik yang akan melakukan penyitaan menunjukkan Tanda Pengenal dan Surat Perintah Penyitaan (dilampiri salinan/foto copy Surat Izin/izin Khusus Ketua Pengadilan  Negeri) kepada tersangka/keluarganya dari siapa benda akan disita.
Benda-benda yang akan disita, diperlihatkan kepada tersangka/keluarganya/orang lain dari siapa benda-benda tersebut akan disita  termasuk data dan keterangan tentang asal benda-benda tersebut dengan disaksikan oleh Kepala Desa/Ketua Lingkungan Beserta 2 (dua) orang saksi.
8)   Membuat daftar benda-benda yang disita secara terperinci tentang jumlah atau berat menurut jenis masing-masing.
9)   Untuk kepentingan pengamanan, apabila dianggap perlu benda yang akan disita dilakukan pemotretan terlebih dahulu.
10)  Benda-benda sitaan dibungkus atau diikat menurut jenisnya masing-masing dan diberi label.
11)  Tata cara pembungkusan benda sitaan :
a)    Benda sitaan dibungkus dan diberi label
b)    Pada label tersebut harus dicatat :
(1)   Nomor registrasi barang bukti
(2)   Jenis
(3)   Jumlah dan atau beratnya
(4)   Ciri maupun sifat khasnya.
(5)   Tempat, hari dan tanggal penyitaan
(6)   Nomor laporan Polisi.
(7)   Identitas orang dimana benda itu disita
(8)   Ditanda tangani oleh yang menyita.
c)    Diberi lak dan stempel
d)    Terhadap barang sitaan yang berbentuk cairan, bubuk dan mudah menguap agar dibungkus sedemikian rupa sehingga dapat menghindari kemungkinan hilang atau berkurangnya jumlah barang bukti yang telah disita.
12)  Untuk pembungkusan dan penyegelan benda sitaan/barang bukti ini dibuatkan Berita Acaranya yang memuat uraian tentang alat/pembungkusan dan penyegelannya sehingga barang atau benda sitaan tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam pembungkusnya tanpa merusak segel dan pembungkus itu sendiri.
13)  Untuk benda sitaan yang tidak mungkin dibungkus.
a)    Diberi label yang memuat catatan yang sama seperti label dimaksud pada huruf k, diatas, kemudian ditempatkan atau dikaitkan pada bagian  benda sitaan yang memungkinkan label tersebut mudah terlihat.
b)    Dalam hal benda sitaan disimpan didalam kemasan/peti dan jumlahnya banyak sehingga benda sitaan akan disimpan tetap ditempat semula, maka dengan mempergunakan benang (tali) yang kuat, peti-peti tersbut dihubungkan satu sama lain sedemikian rupa dan pada bagian-bagian tertentu tali tersbut disimpul dan dilak serta cap/stempel lak, sehinga apabila ada perubahan  (diambil dan sebaginya) akan mudah diketahui oleh petugas.
14)  Memberikan Surat Tanda Penerimaan kepada tersangka/ keluarganya/ jawatan/ lembaga/ orang  lainnya yang menyerahkan benda-benda yang dapat disita.
15)  Membuat Berita Acara Penyitaan yang setelah dibacakan terlebih dahulu oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dan atau Penyelidik yang melakukan penyitaan atas perintah Penyidik, kemudian ditanda tangani olehnya dan oleh tersangka / atau keluarganya / lembaga / orang lain dari siapa benda itu disita  serta diketahui Kepala Desa/Ketua Lingkungan.
16)  Dalam hal tersangka/keluarganya/jawatan/badan/orang lainnya dari siapa benda tersebut disita menolak untuk menandatangani Berita Acara Penyitaan, dicatat didalam Berita Acara Penyitaan dan disebutkan alasan penolakan tersebut.
17)  Benda yang telah disita harus dicatat didalam Buku Register Barang Bukti.
18)  Barang Bukti harus disimpan :
a)    Ditempat penyimpanan barang bukti pada kantor kepolisian setempat.
b)    Di RUPBASAN, apabila sudah ada RUPBASAN.
c)    Ditempat penitipan barang pada Bank Pemerintah.
d)   Ditempat semula ketika benda itu disita.
19) Penyerahan barang bukti kepada pejabat RUPBASAN dilaksanakan dengan surat pengantar yang dilampiri daftar barang bukti yang diserahkan dan dibuat Berita Acara Penyerahan Barang  Bukti.
20) Penyimpanan barang bukti di kantor Kepolisian dilakukan oleh petugas khusus yang ditunjuk untuk itu. Untuk setiap penyerahan barang bukti dari penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan atau dari petugas yang memberikan Surat Tanda Penerimaan. Barang harus disimpan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.
21)  Sebelum adanya RUPBASAN, pertanggung jawaban fisik atas barang bukti ada pada petugas penyimpanan barang bukti, sedangkan yang berwenang dalam pelaksanaan penyidikan perkara yang bersangkutan. Untuk keamanan barang bukti siapapun dilarang memakai barang bukti.
22) Setelah ada RUPBASAN, pertanggung jawaban fisik ada pada pejabat RUPBASAN , sedangkan tanggung jawab Yuridis ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam rangka proses peradilan pidana.
23)  Dalam hal barang bukti akan dilelang, maka sebagian kecil disisihkan untuk keperluan pembuktian didepan sidang pengadilan, hasil lelang disimpan untuk pengganti barang bukti proses lelang agar mengacu kepada Pasal 45 KUHAP dan penjelasannya. Untuk itu dibuat BA Penyidikan Barang Bukti dan Berita Acara Pelelangan.
24)  Dalam hal penyidik/penyidik pembantu mengembalikan barang bukti, karena :
a)  Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi (setelah dikonsultasikan lebih dahulu dengan penuntut umum dan Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang).
b)  Ada putusan pra Peradilan yang menetapkan bahwa ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian dan harus dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. 
c)  Penyidikan dihentikan, karena tidak cukup bukti, atau bukan merupakan tindak pidana, atau demi hukum. Untuk itu harus dibuat Berita Acara Pengembalian barang bukti.
25) Dalam hal penyidikan tidak dapat dilanjutkan karena tidak cukup bukti, atau penyidik sudah tidak membutuhkan lagi, maka barang bukti yang disita harus dikembalikan kepada pihak yang berhak,  sepanjang pihak tersebut mempunyai bukti-bukti yang memperkuat kepemilikannya.



BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,  berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,  penuntutan dan peradilan. 
2.    Kritik dan Saran
Melalui tulisan ini saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,  oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat di sempurnakan.  Dan bagi para pembaca agar lebih mengetahui tentang penyitaan.









Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Penyitaan Benda Tidak Bergerak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel