Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Qawa’id Fiqhiyyah
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Qawa’id fiqhiyah
Sejarah perkemabangan hukum islam (tarikh
al-tasyri’ al-islami) tidak menguraikan qawa’id fiqhiyyah secara
komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab sejarah perkembangan hokum islam
tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagi sampai menjelaskan kegunanaan
(urgensi) dan kedudukannya dalam hokum islam. Dengan demikian,
penelusuran terhadap sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan
pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah sangat pentin dilakukan. Penelusuran
tersebut, sedikit banyak akan dapat memberikan kejelasan tentang
kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawa’id fiqhiyyah dalam hokum islam.
Begitu juga, tenteng latar belakang sejarah perkembangan hokum islam
tidak mengkaji qawa’id fiqhiyyah secara menyeluruh.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkemabngan qawa’id fiqhiyya dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan;
2. Fase perkembangan dan pengkodifikasikan;
3. Fase pemantapan dan pesistematisan.
2. Fase perkembangan dan pengkodifikasikan;
3. Fase pemantapan dan pesistematisan.
A. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan Qawa’id Fiqhiyyah
Pada periode Nabi Muhammad, otoritas
tertinggi dalam pengambilan hokum dipegang oleh Nabi. Semua persoalan
yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh teks
primer (al-Qur’an) dan hadist Nabi. Term “fiqh” pada masa itu dugunakan
untuk menunjukan segala sesuatu yang dipahami dari teks al-Qur’an dan
as-Sunnah, baik persoalan akidah maupun hokum dan adab.
Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hokum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan padat. Hadist –hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hokum, juga sebagai qawa’aid fiqhiyyah. Beberapa hadits Nabi yang singkat dan padat mendukung stetment ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hokum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan padat. Hadist –hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hokum, juga sebagai qawa’aid fiqhiyyah. Beberapa hadits Nabi yang singkat dan padat mendukung stetment ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. ﺍﻟﺨﺮﺝ ﺑﺎﻟﻀﻤﺎﻥ (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. ﺍﻟﻌﺠﻤﺎﺀ ﺟﺮﺣﻬﺎ ﺟﺒﺎﺭ ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah
menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits
jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa
segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah)
haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut
berjenis makanan atau minuman. Ini adala ketetapan Nabi Muhammad SAW,
yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawa’id fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1. pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H)
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih
al-Bukhari: ﻣﻘﺎﻃﻊ ﺍﻟﺤﻘﻮﻕ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ (penerimaan hak bdasarkan kepada
syarat-syarat)
2. pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w.
40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) : ﻣﻦ ﻗﺎﺳﻢ ﺍﻟﺰﺑﺢ ﻓﻼ
ﺿﻤﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung
kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi
kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah
yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan
syirkah.
Di bawah ini beberapa kaidah yang timbul pada masa tabi’in dan para imam mujtahid:
1. Pernyataan Qadhi Syuriah bin Haris
al-kindi (w. 76 H), seperti; ﺍﻟﻨﺎﺗﺞ ﺍﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ (orang yang membantu
kelahiran binatang (natij) lebih utama dari pada orang yang mengaku
pemiliknya)
2. Pernyataan Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani (w.189 H) yaitu; apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian
timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau
belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia
mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat
beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai
wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang
muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak,
memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau
pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu).
Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺰﻭﻝ
ﺑﺎﻟﺸﻚ (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
3. Pernyataan Imam Syafi’I dalam kitabnya
al-Umm, diantaranya ﺍﻷﻋﻈﻢ ﺍﺫﺍ ﺳﻘﻂ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺳﻘﻂ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﺻﻐﺮ ﻣﻨﻪ (apabila
yang besar gugur, yang kecilpun gugur)
4. Pernyataan Ahmad bin Hambal (w.241 H)
yang dikemukakan abu Daud dalam kitabnya al-Masail diantranya ﻛﻞ ﻣﺎ ﺟﺎﺯ
ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺗﺠﻮﺯ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻬﺒﺔ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻭﺍﻟﺮﻫﻦ (setiap perkara yang boleh
diperjualbelikan boleh pula dihibahkan, disodaqohkan, digadaikan)
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut ini:
1. Kaidah fiqh telah ada semenjak masa
Ulama Mutaqaddimin (abad 1, 2, 3 H) meskipun belum dikenal sebagai
kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilm tersendiri.
2. Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat
ditelusuri lewat pernyatan-pernyatan para ulama di atas, karena mereka
adalah rujukan pertama ilmu ini.
3. Beberapa kaidah yang dibentuk para
ulama mutaqaddimin, terutama apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin
Hambal dan Imam Syafi’I , merupakan beberap kaidah ulama mutakhirin.
4. atsar dan pernyataan para ulama
mutaqaddimin menjadi rujukan ulama mutakhirin dalam membentuk,
mangumpulkan, dan mengkodifikasikan qawa’id fiqhiyyah .
Dengan demikian, peletakan batu pertama
pembentukan qawa’id fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun pertama
(ke-1. 2. dan 3 H), meskipun dalam bentuk yang sederhana. Ini karena
pada saat itu qawaid fiqhiyyah belum begitu perlu dibentuk menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah |
B. Fase Perkembangan dan Pembukuan Qawa’id Fiqhiyyah
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan
terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika
kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah
karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini
berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab.dan ulama pada
saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh
pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta
perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya
telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi
setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam
memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun berkata dalam muqaddimahnya:
“ketika madzhab-madzhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan tidak ada kesampatan untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan
metode qiyas, maka mereka hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh pendiri dan pemuka madzhab, baru mereka membahas masalah-masalah itu bedasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh madzhab”
“ketika madzhab-madzhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan tidak ada kesampatan untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan
metode qiyas, maka mereka hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh pendiri dan pemuka madzhab, baru mereka membahas masalah-masalah itu bedasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh madzhab”
Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan
menggunakan metode seperti ini rupanya menyebabkan fiqh menjadi semakin
berkembang pada saat itu, cakupan wilayahnya menjadi luas dan mampu
menjawab seluruh persoalanya. Pada saat itulah para ahli fiqh membuat
metode baru mula-mula metode ini diberi nama dengan;
1. al-Qawa’id atau ad-Dlawabid
2. al-Faruq
3. al-Alghaz
4. muthorohat
5. Ma’rifat al-Afrod
6. al-Hiyal dan nama-nama lain yang termasuk menjadi istilah dalam ilmu fiqh. Setelah itu, para ahli fiqh menjelaskan maksud dari istilah-istilah di atas.
2. al-Faruq
3. al-Alghaz
4. muthorohat
5. Ma’rifat al-Afrod
6. al-Hiyal dan nama-nama lain yang termasuk menjadi istilah dalam ilmu fiqh. Setelah itu, para ahli fiqh menjelaskan maksud dari istilah-istilah di atas.
Ketika hokum furu’ dan fatwa para ulama
semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para
ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat
memelihara hokum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan.
Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam
risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam
kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul
tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan
kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Pada abad ke-7 H qawa’id fiqhiyyah
mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk
dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad
ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613
H) ia menulis kitab dengan judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” ,
kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari
kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri
al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih
banyak lagi.
Karya-karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif.
Karya-karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif.
Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1. al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2. kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4. dll
2. kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4. dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id
fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode
karya-karya abad sebelumnya. Diatara karya-karya tersebut adalah:
1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3. kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4. dll
2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3. kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4. dll
Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah
berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII H, perkembangan ini
qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para
ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat
dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id
fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha
mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai,
al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam
kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama
tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali
kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id
fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu
qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang
hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hamper dapat menyempurnakan
ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
C. Fase Pemantapan dan Penyepuranaan
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah
mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh
komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan
al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa
itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah,
yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian
terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan
merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim
penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap
kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang
lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah
yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi
yang sangat penting dalam proses penalaran hokum fiqh.
Setelah mengamati sejarah dari perjalanan
qawa’id fiqhiyyah mulai dari masa kemunculannya sampai kematangannya,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Qa’idah-qa’idah yang terdapat dalam
lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh para pendiri dan pemuka
madzhab seluruhnya bukan berupa qa’idah umum, namun masih dalam bentuk
qa’idah madzhab. Dalam artian, qa’idah itu hanya sesuai pada suatu
maszhab tertentu tidak pada madzhab lain.
2. sebagian besar kaidah yang dibukukan
pada abad-abad belakang atau sekarang, ternyata telah dikemukakan oleh
para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda. Misalnya dalam
Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidah ﺍﻻﻗﺮﺍﺭ ﺣﺠﺔ ﻗﺎﺻﺮﺓ (pengakuan
adalah hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda, kaidah ini
telah dkemukakan al-Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul
al-karkhi) sebagai berikut: ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻳﻌﺎﻣﻞ ﻓﻰ ﺣﻖ ﻧﻔﺴﻪ ﻛﻤﺎ ﺍﻗﺮﺑﻪ ﻭﻻ ﻳﺼﺪﻕ
ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻄﺎﻝ ﺣﻖ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﺰﺍﻡ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﺣﻘﺎ (orang menggunkan hak pribadi
sesuai dengan pengakuannya. Ia tidak dapat membatalkan hak orang lain
atau menetapkan hak kepadanya).
3. babarapa kaidah perlu diformat ulang
redaksinya dengan yang lebih sempurna. Ini karena boleh jadi kaidah
tersebut masih kurang mencakup atau masih bersifat umum, sehingga perlu
disempurnakan atau dibatasi. Misalnya, kaidah ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﻴﺮ
ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ (tidak ditolak perubahan hokum karena perubahan zaman). Para
Fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa hokum yang dapat berubah karena
perubahan zaman dan adapt adalah hokum ijtihadi yang dibiarkan seperti
itu, akan menjadi kesalah pahaman. Dengan demikian, redaksi tersebut
lebih baik ditambah atau diganti dengan yang labih jelas, seperti ﻻ ﻳﻨﻜﺮ
ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻻﻛﺎﻣﺎﻟﻤﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻭﺍﻟﻌﺮﻕ ﺑﺘﻐﻴﺮ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ (tidak ditolak
perubahan hokum yang dibangun oleh kemaslahatan dan ‘urf kerena
perubahan zaman).
4. Qawa’id fiqhiyyah terbentuk menjadi
sebuah disipli ilmu tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu
dalam pembuatannya pun para fuqaha membentuknya secara bertahap. Pada
awalnya, hanya berupa pemikiran tentang suatu persoalan, keudian setelah
pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk menjadi sebuah Qaidah.
0 Response to "Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Qawa’id Fiqhiyyah"
Post a Comment