Social Media

Pengertian Kaidah Fiqhiyyah dan Ruang lingkup bahasannya

■ Pengertian Kaidah Fiqhiyyah

Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.

Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:

ﺍُﺻُﻮْﻝٌ ﻓِﻘْﻬِﻴَّﺔٌ ﻛُﻠِّﻴَّﺔٌ ﻓﻰِ ﻧُﺼُﻮْﺹٍ ﻣُﻮْﺟِﺰَﺓٍ ﺩُﺳْﺘُﻮْﺭِﻳَّﺔٍ ﺗَﻀْﻤَﻦُ ﺃَﺣْﻜَﺎﻣًﺎ ﺗَﺸْﺮِﻳْﻌِﻴَّﺔً ﻋَﺎﻣَّﺔً ﻓِﻰ ﺍﻟْﺤَﻮَﺍﺩِﺙِ ﺍﻟَّﺘِﻰ ﺗَﺬْﺧُﻞُ ﺗَﺤْﺖَ ﻣَﻮْﺿُﻮْﻋِﻬَﺎ

“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat menca
kup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”

Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:

“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”

■ Ruang Lingkup Bahasannya.

Apabila kaidah-kaidah fiqih ini kita perinci berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya, setidaknya ada lima ruang lingkup yaitu:

1. Jalbul mashalihih wadaf’ul mafasidih, Meraih kemaslahatan dan menulak kemudaratan.

2. Al-qawa’id Al-khamsah,
kaidah-kaidah fikih pokok yang lima muliputi keluruhan bidangf fiqih yaitu:

a) ﺍﻻﻣﻮﺭ ﺑﻤﻘﺎﺻﺪﻫﺎ “segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
b) ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﺸﻚ “ Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan ”
c) ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻟﺘﻴﺴﺮ “Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
d) ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ “kemudlorotan itu harus dihilangkan”
e) ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﺤﻜﻤﺔ “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Kaidah diatas meliputi keseluruhan fiqih-fiqih didalam bebagai macam bidang fiqih.

3. Cabang dari kaidah-kaidah yang lima tersebut, seperti kaidah No. 4: “kemudharatan harus dihilangkan” bercabang lagi menjadi kaidah, antara lain:

a) Adharuratuh tubihul mahdzurat,( kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan lagi ).
b) Addhararu yudfa’ biqadril imkani, ( kemudharatan harus ditolak sekadarnya saja).
Maksud kaidah ini jangan sampai menghilangkan kemudharatan itu melampaui batas.

4. Kaidah-kaidah fiqih dan ruang lingkup dan cakupannya hanya dalam bidang fiqih tertentu, seperti.

a) Idraul hududa bisyubuhati,
( ditolak hukuman had karna adanya subhat )
Kaidah ini hanya berlaku didalam fiqih jinayah (hukum pidana islam).

b) Hukum asal dalam mu’amalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Kaidah ini haya berlaku didalam fiqih muamalah.

5. Kaidah yang merupakan cabang dari bidang hukum tertentu, seperti untuk kepentingan:
“ kemaslahatan publik didahulukan dari pada kemaslahatan individu”

Kaidah diatas dihubungkan dengan kaidah lain seperti:

ﻻﺿﺮﺍﺭﻭﻻﺿﺮﺍﺭ “Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”.

Contoh: Pemerintah yang mau membuat jalan untuk kepentingan umum, tetapi jalan itu melewati tanah milik orang lain, maka penyelesayannya dengan menggunakan kaidah tersebut. Penerintah bisa melanjutkan rencananya, tetapi harus mengganti dengan harga pasaran yang wajar pada waktu itu ditempat tersebut.

Contoh kaidah lainnya: ﺩﺭﺀ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ
(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan) .

■ Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh dan kaidah usuliyah.

Antara Fiqh dan Syari’ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari’ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari’ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu’, tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari’ah kekal abadi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.

■ Perbedaan Antara Kaidah Fiqhiyyah dan Kaidah Ushuliyah

Di antara para peneliti di bidang kaidah ushulfiqh dan kaidah fikih menyatakan bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah”

Lebih jauh lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih.

1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.

2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar Jaih Mubarok, penulis kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul pun ada kekecualiannya.

3. Kaidah ushulfiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Menurut hemat penulis, kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).

4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah/«ru’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-kaidah fikih.

5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu.

Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah- kaidah ushul) dengan furu atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang penulis maksud dengan penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang penulis maksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakan pola pikir induktif, karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian kaidah fikih sebagai “teori umum di dalam fikih Islam”, bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.

Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fiqh dan terdapat di dalam kitab-kitab ushul fiqh. Sedangkan kaidah- kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.

Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah usul dan kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul, misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.

Memang ada juga beberapa kaidah ushul fiqh yang dimasukkan oleh para ulama di dalam kaidah-kaidah fikih. Hal semacam ini bisa terjadi karena:

● di dalam proses pengujian kaidah-kaidah fikih oleh Al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fiqli, sehingga digunakanlah sebagai kaidah fikih, bukan sebagai kaidah ushul fiqh seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih menggunakannya bukan sebagai hadis tapi sebagai kaidah fikih.
Istilah teori umum dalam fikih Islam, penulis meminjam dari Abu Zahrah dengan kata-katanya, “al-Nazhariyat al-’Ammah li al-fiqh al-Islam”. Meskipun demikian ada pula ulama yang membedakan antara kaidah fikih dengan teori-teori fikih, misalnya, Mustafa Ahmad Zarqa, di dalam bukunya al-Fiqh al-lslamifi Tsaubih al-Jadid, (lilin. 237). juga Ahmad al-Nadwi (hhn. 62).
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.

● apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan mukallaf, maka kaidah tadi disebut kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk menerapkan hukum (tathbiq al- ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih, para ulama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.

Makalah Pengertian, Ruang lingkup, hubungan, dan sumber Qawaid Fiqhiyyah
Kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah
■ Sumber- Sumber Qawa’id Al-Fiqhiyyah

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qurâ’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur,an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syariah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qurâ’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qurâ’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.
Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syarâ Man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan Qawaid-Qawaidnya. Perbedaan dalam qawa’id-qawa’id ini juga menimbulkan mazhab-mazhab sesuai dengan keyakinan dan pendapat masing-masing para ulama, khususnya ulama pelopornya.

Sebagaimana diketahui bahwa ulama pelopor dari mazhab-mazhab tersebut adalah Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam ini mempunyai qawa’id-qawa’id tersendiri di dalam menetapkan ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul, contoh :

1. Seseorang mengambil barang orang lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.

2. Seseorang yang menjalani eksekusi karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengertian Kaidah Fiqhiyyah dan Ruang lingkup bahasannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel