Social Media

KAIDAH KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KERAGUAN (اليقين لا يزال بالشّكّ)

KAIDAH 5 | YAKIN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN ( اليقين لا يزال بالشك )
Makalah KAIDAH KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KERAGUAN (اليقين لا يزال باشّكّ)


ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﺸﻚ

KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN

Yakin adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan atau dengan adanya dalil.

اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر او الدليل

Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa seorang dapat dikatakan telah meyakini terhadap satu perkara, manakala terhadap perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancar indera atau pikiran.

Contohnya seseorang yang merasa hadats dari wudlunya harus dapat diyakini hadatsnya itu dengan adanya angin yang keluar yang dapat dirasakan atau didengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium oleh hidung.

Sedangkan Syak adalah sesuatu yang berada antara ketetapan dan ketidak tetapan Dimana pertentangan tersebut berada dalam posisi yang sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dikuatkan salah satunya.

ﺍﻟﺸﻚ ﻫﻮ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺘﺮﺩّﺍ ﺑﻴﻦ ﺛﺒﻮﺕ ﻭﻋﺪﻣﻪ ﻣﻊ ﺗﺴﺎﻭﻯ ﻃﺮﻓﻰ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﻭﺍﻟﺨﻄﺎﺀ ﺩﻭﻥ ﺗﺮﺟﻴﺢ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻵﺧﺮ

Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dapat dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah dan kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Dan kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah:

ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﺸّﻚّ

“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”


DASAR KAIDAH

Sumber kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini berdasarkan beberapa hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺄﺷﻜﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺧﺮﺝ ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺊ ﺃﻡ ﻻ ﻓﻼﻳﺨﺮﺟﻦّ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﻤﻊ ﺻﻮﺗﺎ ﺃﻭ ﻳﺠﺪ ﺭﻳﺤﺎ .

“Manakala seseorang di antaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.

Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sholat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Secara logika, orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudlu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih alam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesucian sejak semula, sedang keraguan baru timbul kemudian. Oleh karena itu orang tersebut tidak perlu berwudlu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.

Dan sabda Rasulullah :

ﺇﺫﺍ ﺷﻚّ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺗﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﺭﻛﻢ ﺻﻠّﻰ ﺃﺛﻼﺛﺎ ﺃﻡ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻓﻠﻴﻄﺮﺡ ﺍﻟﺸّﻚّ ﻭﺍﻟﻴﺒﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻴﻘﻦ

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui berapa raka’at yang telah ia kerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yang meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang meyakinkan.

Dalil akal ( aqli ) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat daripada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum Qath’i yang meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dapat dikatakan bahwa keyakinan tidak dapat dihilankan dengan keraguan.

Dari kaidah-kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini. [4] Berikut ini merupakan kaidah-kaidah lanjutan dari kaidah dasar di atas:

1. ﺍﻷﺻﻞ ﺑﻘﺎﺀ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ

“Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”

Contoh: Seseorang mempunyai wudlu, lalu ia ragu sudah batalkah atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.

2. ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬّﻣّﺔ

“Yang jadi patokan adalah bebas dari tanggungan”

Contoh:A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B (yang diadukan) menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasarkan kaidah ini.

3. ﻣﻦ ﺷﻚّ ﻫﻞ ﻓﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﺃﻭﻻ؟ ﻓﺎﻷﺻﻞ ﺃﻧّﻪ ﻟﻢ ﻳَﻔﻌَﻠﻪ

“Jika ada orang ragu, apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat”

Contoh:A mengadukan bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya. Lalu di depan pengadilan terjadilah dialog seperti ini:

Hakim : B! Benarkah kau berhutang Rp.1.000,- kepada A?

B : Benar, tapi sudah saya lunasi.

Hakim : Apakah kau punya tanda bukti pembayaran hutang?

B : Tidak

Hakim : A!, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar. Apakah benar?

A : Belum!

Maka berdasarkan kaidah ini, Hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi.

4. ﻣﻦ ﺗﻴﻘّﻦ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻭﺷﻚّ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﺃﻭ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ

“Jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit.”

Contoh: Seseorang sedang tengah-tengah sholat Dhuhur merasa ragu, apakah yang dikerjakannya empat raka’at, atau baru tiga raka’at. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga raka’at dan ia harus menambah satu raka’at lagi.

5. ﺍﻷﺻﻞ ﺍﻟﻌﺪﻡ

“Asal (di dalam hak) itu tidak ada.”

Contoh :A menyerahkan Rp.1.000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan.

6. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﻛﻞّ ﺣﺎﺩﺙ ﺗﻘﺪﻳﺮﻩ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺯﻣﻦ

“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat.”

Contoh:Seseorang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya. Ia ragu mani kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, diputuskan bahwa mani itu adalah baru dan bukan kemarin.

7. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﺘّﻰ ﻳﺪﻝّ ﺍﻟﺪّﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘّﺤﺮﻳﻢ

“Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Ini menurut mazhab Syafi’i, sedang menurut mazhab Hanafi sebaliknya, yakni:

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﺘّﺤﺮﻳﻢ ﺣﺘّﻰ ﻳﺪﻝّ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ

“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.”

Imam Syafi’i berpendapat : “Allah itu maha bijaksana, jadi mustahillah Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hamba-Nya.”

Beliau berpegang kepada dalil:

a) Sabda Rasulullah SAW

ﻣﺎ ﺃﺣﻞّ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺣﻼﻝ ﻭﻣﺎ ﺣﺮّﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻣﺎ ﺳﻜّﺘﺎ ﻋﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﻔﻮ

“Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dimaafkan.”
b) Firman Allah

ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺟﻤﻴﻌﺎ

“Allah menciptakan bagi kalian apa yang ada di bumi seluruhnya.”
Imam Abu Hanifah berkata bahwa, “Memang Allah maha bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah SWT sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.”

Beliau berpedoman pada firman Allah SWT:

ﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ

“Adalah milik Allah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”
Contoh:
Ada seekor binatang yang kita belum dapat mengetahui tentang halal/haramnya. Menurut Imam Syafi’i halal, sedangkan Imam Hanafi mengharamkannya.

Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam hal ini, pengecualian masalah-masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam perkara satu ini, ke dua beliau sepakat menghukuminya haram.

Misalnya:
Di dalam sebuah desa ada sepuluh orang perempuan, satu di antaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan A (laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang manakah Siantar sepuluh perempuan itu yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, ke sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.

8. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ

“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah.”
Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan dapat pula diartikan majas/kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah.

Contoh:
Seseorang bersumpah : “Demi Allah, saya tidak akan membeli baju.” Lalu ia menyuruh orang lain untuk membelikan baginya, maka menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap tidak melanggar sumpah.

9. ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﺍﻷﺻﻞ ﻭﺍﻟﻈّﺎﻫﺮ

“Kalau terjadi pertentangan antara Asal dan Dzahir.”
a) Ditafshil, adakalanya Asal yang dimenangkan dan ada kalanya Dzahir yang dimenangkan.

Contoh:
1. Piring milik China kafir, hukumnya tetap suci, sebab asalnya memang suci, meskipun ada dzahirnya mungkin pernah digunakan sebagai wadah/tempat makanan dari daging babi.

2. A melakukan jual beli dengan B. Kemudian as mengatakan, bahwa jual beli itu tidak sah, sedangkan B menganggapnya sah. Yang dibenarkan adalah B yang mengatakan jual beli sah, meskipun asalnya (yaitu A) menganggap tidak sah.

3. Suami istri telah tinggal dalam satu atap. Istri mengaku sudah digauli, sedang suami berkata belum. Kalau kita berpegang kepada asal, maka yang dibenarkan adalah suami dan jika kita berpegang kepada Dzahir, maka yang benar adalah Istri. Dalam hal ini ulama’ berselisih pendapat.

b) Manakala Dzahir bertentangan dengan Asal, padahal Dzahir dikuatkan dengan landasan yang menurut Syarak dapat dibenarkan, atau Dzahir itu dikuatkan oleh satu sebab atau kebiasaan/adat, maka Dzahir harus dimenangkan.

Contoh:
1. Air satu blik berada di tempat yang pada galibnya bisa terkena najis. Lalu ada orang bilang: “Tadi ada seorang anak yang kencing berdiri di dekat air itu, mungkin air itu kecipratan najis.” Berdasarkan kaidah ini, Dzahir air terkena najis dimenangkan.

2. Bila ada seekor kambing kencing dekat air, air itu mungkin kecipratan dan mungkin tidak, tetapi pada kenyataannya, air berubah, maka Dzahir – air kena najis – dimenangkan.

c) Apabila Asal dan Dzahir bertentangan, padahal sebab-sebab kemungkinannya lemah, maka yang dimenangkan adalah Asal.

Pakaian pembuat arak Asalnya adalah suci. Boleh jadi pakaian itu terkena arak, tetapi kemungkinannya lemah sekali, maka pakaian tersebut tetap suci.

d) Kalau Asal bertentangan dengan Dzahir dan Dzahir lebih kuat, maka Dzahirlah yang dimenangkan.

Contoh:
Seseorang shalat. Setelah salam, ia bimbang tentang apakah ia tidak meninggalkan salah satu rukun selain niat dan takbiratul ihram. Ia tidak wajib mengulang shalatnya.

e) Apabila Asal bertentangan dengan kemungkinan-kemungkinan, maka Asal tetap dimenangkan.

Contoh:
Seseorang sedang melaksanakan shalat Dzuhur dan ia yakin, bahwa ia sudah mengerjakan tiga raka’at tetapi mungkin juga empat raka’at.

Berdasarkan kaidah ini, shalat orang itu dihitung tiga raka’at.

10. ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﺍﻷﺻﻼﻥ

“Apabila ada dua asal yang saling bertentangan.”
Maka :

a) Yang lebih kuat harus dimenangkan

Dan tentu saja, hal ini membutuhkan penguat, baik berupa Dzahir maupun yang lain.

Contoh:
Seorang pria dan seorang wanita telah bertahun-tahun menjadi Suami istri. Kemudian terjadi perkara tuduh menuduh. Istri mengatakan, bahwa selama ini Suaminya belum pernah menggaulinya, sebab impoten, sedang suami menyatakan sudah menggauli istri yaitu di masa-masa sebelum impoten.

Dalam masalah ini, terdapat dua Asal yang saling bertentangan, yakni:

1. “Menggauli” Asalnya adalah “Belum menggauli.”

2. “Impotent” Asalnya asalah “Tidak Impotent”

Yang dimenangkan adalah suami, sebab Asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh lamanya mereka bergaul/berkumpul sebagai suami istri.

b) Jika dua Asal yang saling bertentangan tersebut, masing-masing tidak mempunyai penguat maka Ulama tetap berselisih pendapat.

Contoh:
Seseorang berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu apakah niat itu dilakukan sebelum fajar ataukah sesudah fajar?

Karena dua Asal yang saling bertentangan ini masing-masing tidak mempunyai penguat, maka Ulama berbeda pendapat:

1. mengatakan bahwa, puasa itu tidak sah sebab niat itu Asalnya adalah “tidak sah.”

2. Ulama lain berpendapat bahwa, puasa itu sah, sebab sesudah fajar, Asalnya adalah “sebelum fajar.”

11. ﻭﺍﻟﻈّﺎﻫﺮﺍﻥ ﺭﺑﻤّﺎ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻭﻫﻮ ﻗﻠﻴﻞ

“Dzahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan Dzahir lain, meskipun jarang terjadi.”
Contoh:
Sepasang lelaki dan perempuan tertangkap basah di sebuah hotel. Keadaan si Lelaki kelihatan jauh lebih muda dibandingkan dengan perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan mengatakan, bahwa lelaki itu adalah suaminya yang sah dan si Lelaki itupun membenarkan.

Dalam hal ini, menurut Qoul jadi: ikrar serta pembenarannya dapat diterima, tetapi menurut Qoul Qodim: tidak dapat diterima, sebab keadaannya meragukan. Jadi untuk menerima ikrar serta pembenarannya tersebut, harus ada saksi.

Macam-macam syak (ragu)

Menurut Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hamid Al-Asyfirayiniy, syak (keraguan) itu ada tiga macam yaitu :

Syak atas Asal yang haram

Misalnya: Ada seekor kambing disembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara Muslimin dan Majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab Asalnya haram.

Syak atas Asal yang mubah

Misalnya: Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula karena terlalu lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab Asalnya memang air itu suci.

Syak atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya

Misalnya: A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak dapat diketahui Diana uang itu (yang digunakan untuk muamalah) berasal.

Catatan:
Syak (ragu) dan Dhan (sangkaan) itu pengaruhnya dalam hukum sama.

Misalnya:
Seseorang bertamu ke rumah temannya. Sampai di sana rumah tertutup, lalu timbul dalam pikirannya “Teman ini, boleh jadi pergi dan mungkin malahan sedang tidur”, ini namanya Syak, “Tetapi kemungkinan besar ia masih berada di rumah sebab kendaraannya masih ada”. Ini yang namanya Dhan.

Kaidah ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﺸّﻚّ ini mempunyai bandingan, yakni ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻗﺪ ﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﺸّﻚّ .

“Yakin itu terkadang hilang sebab bimbang.”

Tetapi kaidah ini hanya berlaku pada beberapa masalah, bahkan Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas masalah, sedang Imam Nawawiy menambahkan dengan beberapa masalah, begitu pula Imam Subkiy.

Contoh: Orang-orang akan melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah waktu Jum’at masih ataukah sudah habis? Maka berdasarkan kaidah ini, mereka harus sholat Dhuhur saja.

demikian itu bisa berubah jika orang yang berhutang mampu memberikan bukti berupa kwitansi atau catatan lainnya.

2. ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ “Hukum yang asal adalah bebasnya seseorang dari segala tanggungan”.
Contohnya: Jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh, selama penuduh tidak ada bukti, maka yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh karena pada dasarnya ia bebas dari segala beban atau tanggungjawab.

3. ﻣﻦ ﺷﻚ ﺃﻓﻌﻞ ﺷﻴﺄ ﺃﻡ ﻻ ﻓﺎﻷﺻﻞ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ “Barangsiapa yang ragu-ragu apakah ia telah melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang terkuat adalah ia belum melakukannya”.
Contohnya: Ada seseorang bingung dan ragu terkait masalah wudlu, apakah dia sudah berwudlu atau belum. Maka dalam hal ini, dia dianggap belum berwudlu, karena belum wudlu merupakan hukum asal.

4. ﻣﻦ ﺗﻴﻘﻦ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻭﺷﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﺃﻭ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻷﻧﻪ ﺍﻟﻤﺘﻴﻘﻦ

“Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan tetapi ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah yang sedikit karena hal itu yang meyakinkan”.
Contohnya: Ada seseorang yang shalat, dia lupa sudah mengerjakan 3 rekaat apa 4 rerkaat dalam shalatnya, maka yang dianggap adalah yang 3, karena yang 3 itulah yang diyakini sudah dilaksanakan sedangkan 4 belum tentu.

5. ﺇﻥ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺮﺗﻔﻊ ﺇﻻ ﺑﻴﻔﻴﻦ

“Sesungguhnya sesuatu yang berdasar pada keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula”.
Contohnya: Jika ada imam yang ragu dalam blangan rekaatnya, sudah sampai 3 atau 4. Ketika dia yakin baru sampai 3 dan ingin berdiri, akan tetapi makmum mengingatkan dengan kalimat tasbih, maka yang dianggap adalah yang empat, karena sudah ada dalil atau bukti dari makmum yang lebih banyak.

6. ﺍﻷﺻﻞ ﺍﻟﻌﺪﻡ “Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”.
Contohnya: ketika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang kerusakan barang, dalam hal ini penjual dimenangkan, karena barang dagangan dijual dalam keadaan baik atau telah dicoba sebelumnya oleh pembeli.

7. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺣﺎﺩﺙ ﺗﻘﺪﻳﺮﻩ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺯﻣﻦ “Asal dari kasus mengenai perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya”.
Contohnya: Ada seseorang wudlu dengan air sumur dan melaksanakan shalat. Setelah shalat ia melihat ada bangkai kambing di dalam sumur itu. Maka dia tidak wajib mengkada’ shalatnya. Karena yang diyakini adalah dia berwudlu dengan air suci. Masa ia berwudlu dan masa ia melihat bangkai kambing lebih dekat masa ia berwudlu.

8. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ “Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat bukti/ dalil yang mengharamkan”.
Contohnya: Apa saja yang ada di bumu ini adalah halal, sampai adanya dalil yang menunjukkan akan keharamannya, maka dia akan menjadi haram.

9. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻭﺍﻹﺗﺒﺎﻉ

“Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang ditetapkan”.
Contohnya: Jumlah rekaat dalam shalat maghrib itu 3, maka tidak diperbolehkan menambahnya menjadi empat.

10. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻹﺑﻀﺎﺀ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ “Hukum asal tentang seks adalah haram”.
Pernyataan ini tentunya akan menjadi halal ketika adanya jalan yang bisa menjadikannya halal, yaitu dengan menikah.

11. ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ “Hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat”.
Cotohnya: Ada orang tua yang sebelum meninggal ia mengatakan ingin memberikan hadiah kepada seseorang, maka hal tersebut bukan dianggap wasiat, karena makna yang asal adalah hakikat pemberian, bukan arti dibalik pemberiannya itu. [10]

PENUTUP
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan. Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an al-karim dan terjemahannya.

As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th.

Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Hadits Digital (online) 9 imam

Mandzur, Ibnu, Lisanul Arob, Beirut: Darulkhottob, 2005.

M. Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Asy-Syakk. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, t.th.

Usman, Mukhlis. Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istimbath hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1999.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KAIDAH KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KERAGUAN (اليقين لا يزال بالشّكّ)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel