Social Media

Kaidah Kubra, Lima Kaidah Pokok dalam Kaidah Fiqhiyyah

Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam terminologi hukum fiqih adalah hukum yang bersifat global yang terkait dengan seluruh bagian atau mayoritas dari bagian itu untuk memahami hukum-hukum darinya. Dalam ilmu fiqih, seluruh bab-bab dalam kitab fiqih pada dasarnya mendasarkan diri pada kelima kaidah teresbut.

Kaidah Kubra, Lima Kaidah Pokok dalam Kaidah Fiqhiyyah

Dari kelima kaidah ini terdapat cabang-cabang kaidah yang sesuai dengan kaidah utama. Kaidah utama disebut juga dengan Kaidah Fiqih Kubro (Kaidah Fikih Besar) sedangkan kaidah cabang disebut dengan Kaidah Fiqih Sughro (Kaidah Fiqih Kecil). Kaidah fiqih utama ada lima kaidah yaitu:

Kaidah pertama:

Segala sesuatu tergantung tujuan

( ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺑﻤﻘﺎﺻﺪﻫﺎ )

Kaidah kedua:

Kemudaratan itu dapat hilang

( ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ )

Kaidah ketiga:

Tradisi itu dapat menjadi hukum

( ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﺤﻜﻤﺔ )

4. Kaidah keempat:

Kesulitan menimbulkan kemudahan

( ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻟﺘﻴﺴﻴﺮ )

5. Kaidah kelima:

Yakin tidak hilang karena adanya keraguan

( ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺰﻭﻝ ﺑﺎﻟﺸﻚ )

KAIDAH PERTAMA:

SEGALA SESUATU TERGANTUNG TUJUAN ( ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺑﻤﻘﺎﺻﺪﻫﺎ )

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: “Bahwasanya segala amal itu tergantung niat. Bagi seseorang itu tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi maka hijrahnya adalah pada apa yang dituju.”

Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf dan berakal sehat baik dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum syariahnya yang timbul darinya karena perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut di balik perbuatannya.

Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain “Ambillah uang ini”, maka ia bisa saja berniat sedekah maka itu menjadi pemberian; atau niat menghutangkan, maka wajib dikembalikan; atau sebagai amanah, maka wajib menjaga dan mengembalikannya.

Ada kaidah cabang dari kaidah pertama ini misalnya :

1. Yang dianggap dalam transaksi atau akad adalah dengan maksud dan maknanya; tidak dengan lafadz dan makna ( ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻻ ﺑﺎﻷﻟﻔﺎﻅ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﻧﻲ ‏) .

2. Niat itu mengumumkan perkara khusus, dan mengkhususkan hal yang umum ( ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺗﻌﻤﻢ ﺍﻟﺨﺎﺹ، ﻭﺗﺨﺼﺺ ﺍﻟﻌﺎﻡ ‏) .

3. Sumpah itu tergantung niat orang yang bersumpah ( ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺤﺎﻟﻒ ).
KAIDAH KEDUA:

KEMUDARATAN ITU DAPAT DIHILANGKAN ( ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ )

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar ” ﻻﺿﺮﺭ ﻭﻻﺿﺮﺍﺭ “. Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang dibolehkan.

Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan (yang ditimpakan) dengan kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas dendam. Karena hal itu akan menambah kerusakan dan memperluas cakupan dampaknya.

Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak boleh membalas dengan merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya. Yang benar adalah si perusak mengganti barang atau harta benda yang dirusaknya.

Adapun cabang dari kaidah ini misalnya adalah :

1. Kerusakan ditolak sebisa mungkin ( ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺪﻓﻊ ﺑﻘﺪﺭ ﺍﻹﻣﻜﺎﻥ ‏) .

2. Kerusakan dapat dihilangkan ( ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ . ‏)

3. Kerusakan yang parah dihilangkan dengan kerusakan yang lebih ringan ( ﺍﻟﻀﺮﺭ ﺍﻷﺷﺪ ﻳﺰﺍﻝ ﺑﺎﻟﻀﺮﺭ ﺍﻷﺧﻒ ‏) .

4. Kerusakan yang khusus ditangguhkan untuk menolak kerusakan yang umum ( ﻳﺘﺤﻤﻞ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﺍﻟﺨﺎﺹ ﻟﺪﻓﻊ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﺍﻟﻌﺎﻡ ‏) .

5. Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kebaikan ( ﺩﺭﺀ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺟﻠﺐ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ).

KAIDAH KETIGA:

TRADISI ITU DAPAT MENJADI HUKUM ( ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﺤﻜﻤﺔ )

Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf) dan tradisi (adat) mempunyai peran besar dalam perubahan hukum berdasarkan pada perubahan keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:228 “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” Nabi bersabda: Tradisi dan cara yang berlaku di antara kalian itu boleh digunakan ( ﺳﻨﺘﻜﻢ ﺑﻴﻨﻜﻢ ) (Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, IV/338.

Tradisi atau adat menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang dan masuk akal menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu

Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat keduanya dua kata dengan satu arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya berbeda. Adat adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan individu dan golongan. Sedangkan urf itu khusus untuk kebiasaan golongan saja.

Adapun kaidah cabang dari kaidah ini  misalnya adalah :

1. Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan ( ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﺠﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ ‏) .

2. Adat itu dianggap apabila dominan dan merata ( ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺇﺫﺍ ﺍﺿﻄﺮﺩﺕ ﻭﻏﻠﺒﺖ ‏) .

3. Yang dianggap adalah yang umum dan populer bukan yang jarang ( ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻟﻠﻐﺎﻟﺐ ﺍﻟﺸﺎﺋﻊ ﻻ ﺍﻟﻨﺎﺩﺭ ‏) .

4. Hakikat ditinggal karena dalil adat ( ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺗﺘﺮﻙ ﺑﺪﻻﻟﺔ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ‏) .

5. Kitab atau tulisan itu sama dengan ucapan ( ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻛﺎﻟﺨﻄﺎﺏ ‏) .

6. Isyarat yang difaham orang itu sama dengan penjelasan lisan ( ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﻌﻬﻮﺩﺓ ﻟﻶﺧﺮﻳﻦ ﻛﺎﻟﺒﻴﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ‏) .

7. Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat ( ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻋﺮﻓﺎً ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺷﺮﻃﺎً ‏) .

8. Menentukan dengan urf (kebiasaan) sama dengan menentukan dengan nash ( ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻌﺮﻑ ﻛﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻨﺺ ‏) .

9. Yang dikenal antara pedagang sama dengan syarat antara mereka ( ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺑﻴﻨﻬﻢ ).

KAIDAH KEEMPAT:

KESULITAN MENIMBULKAN KEMUDAHAN ( ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻟﺘﻴﺴﻴﺮ )

Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: “Dalil-dalil yang meniadakan dosa (dalam situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti.” Allah berfirman dalam QS An-Nisa’ 4:28 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu …” dan “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS Al-Baqarah 2:185).

Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf atau hartanya, maka syariah meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa.

Ada beberapa cabang dari kaidah ini misalnya yaitu:

1. Apabila sempit, maka ia menjadi luas ( ﺇﺫﺍ ﺿﺎﻕ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﺗﺴﻊ ‏) .

2. Apabila luas, maka ia menjadi sempit ( ﺇﺫﺍ ﺍﺗﺴﻊ ﺍﻷﻣﺮ ﺿﺎﻕ ‏)

3. Darurat menghalalkan perkara haram ( ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺍﺕ ﺗﺒﻴﺢ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭﺍﺕ ‏)

4. Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, maka dibolehkan sekadarnya ( ﻣﺎ ﺃﺑﻴﺢ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻳﻘﺪﺭ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ ‏)

5. Sesuatu yang boleh karena udzur, maka batal karena hilangnya udzur ( ﻣﺎ ﺟﺎﺯ ﻟﻌﺬﺭ ﺑﻄﻞ ﺑﺰﻭﺍﻟﻪ ‏) .

6. Kebutuhan yang umum termasuk darurat ( ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﺗﻨﺰﻝ ﻣﻨﺰﻟﺔ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ).

7. Darurat tidak membatalkan hak orang lain ( ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻻ ﻳﺒﻄﻞ ﺣﻖ ﺍﻟﻐﻴﺮ )

8. Apabila udzur pada yang asal, maka dialihkan pada pengganti ( ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺬﺭ ﺍﻷﺻﻞ ﻳﺼﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﺪﻝ ).

KAIDAH KELIMA:

YAKIN TIDAK HILANG KARENA ADANYA KERAGUAN ( ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻻ ﻳﺰﻭﻝ ﺑﺎﻟﺸﻚ

Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya.

Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang kecuali dengan dalil yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan tidak adanya sesuatu.

Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada hadits Nabi di mana seorang lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut apa tidak saat shalat. Nabi menjawab: “Teruskan shalat kecuali apabila mendengar suara atau mencium bau (kentut).”

( ﻻﻳﻨﺼﺮﻑ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﻤﻊ ﺻﻮﺗﺎ ﺃﻭ ﻳﺠﺪ ﺭﻳﺤﺎ )

Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.

Kaidah cabang dari kaidah ini misalnya adalah sebagai berikut:

1. Yang asal itu tetapnya sesuatu seperti asalnya

( ﺍﻷﺻﻞ ﺑﻘﺎﺀ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ‏) .

2. Hukum asal adalah bebas dari tanggungan ( ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ ‏)

3. Sesuatu yang ada dengan keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan ( ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﻴﻘﻴﻦ ﻻﻳﺮﺗﻔﻊ ﺇﻻ ﺑﻴﻘﻴﻦ ‏)

4. Hukum asal dari sifat dan sesuatu yang baru adalah tidak ada ( ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻭﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﻌﺎﺭﺿﺔ ﻋﺪﻣﻬﺎ ‏)

5. Hukum asal adalah menyandarkan hal baru pada waktu yang terdekat ( ﺍﻷﺻﻞ ﺇﺿﺎﻓﺔ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﺇﻟﻰ ﺃﻗﺮﺏ ﺃﻭﻗﺎﺗﻪ ‏)

6. Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama ( ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ‏)

7. Hukum asal dari farji atau kemaluan adalah haram ( ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺑﻀﺎﻉ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ‏) .

8. Tidak dianggap dalil yang berlawanan dengan tashrih ( ﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﻟﻠﺪﻻﻟﺔ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺍﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ).

9. Sesuatu tidak dinisbatkan pada orang yang diam ( ﻻ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻰ ﺳﺎﻛﺖ ﻗﻮﻝ )

10. Praduga itu tidak dianggap ( ﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﺘﻮﻫﻢ ).

11. Perkiraan tidak dianggap apabila sudah jelas kesalahannya ( ﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﻈﻦ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﺧﻄﺆﻩ ).

12. Orang yang tercegah secara adat, seperti tercegah secara hakikat ( ﺍﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﻋﺎﺩﺓ ﻛﺎﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﺣﻘﻴﻘﺔ )

13. Tidak ada argumen yang disertai kemungkinan yang timbul dari dalil ( ﻻ ﺣﺠﺔ ﻣﻊ ﺍﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺍﻟﻨﺎﺷﺊ ﻋﻦ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Al-Asyba’ wa An Nazhair, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt), h. 17

Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Fairuz Abadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 22

Syihab al-Din dan al-Qaylubi dan ‘Umayrah, Qalyubi wa ‘Umayrat, (Indonesia: Dar al-Ijya Kutub al-‘Arabiyah, t.t) Juz I, h. 45

Ibrahim al-Bajuri, Hasiyat al-Bajuri, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t), Juz I, h. 47

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kaidah Kubra, Lima Kaidah Pokok dalam Kaidah Fiqhiyyah "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel